Nasionalinfo.Com, Kendari – Tahun 2023 patut dimaknai sebagai titik balik dunia yang telah berhasil mengalahkan pandemi Covid-19. Pada Mei 2023, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO secara resmi mencabut status kedaruratan kesehatan global untuk penularan Covid-19 di dunia. Sejak saat itulah kehidupan masyarakat mulai kembali normal. Setelah status pandemi dicabut, itu tidak berarti penularan Covid-19 yang disebabkan oleh virus Sars-CoV-2 bisa 100 persen hilang di dunia. Penularan masih terjadi, namun lebih terkendali.
Pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kesinambungan antar upaya program dan sektor, serta kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya. Pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat di seluruh dunia termasuk Indonesia, menyebabkan kematian ratusan ribu orang diseluruh dunia, membuat sistem kesehatan mengalami tekanan yang sangat besar dan mengganggu aktivitas ekonomi dan mengubah perilaku pribadi dan sosial.
Pandemi juga menyadarkan bahwa diperlukan ketahanan kesehatan (resilience) dan perubahan kebijakan dan strategi dalam menghadapi pandemi. Transformasi kesehatan dilaksanakan dengan menegakkan enam pilar yakni 1).Tranfromasi Layanan Primer, 2). Transformasi Layanan Rujukan, 3). Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan, 4). Transformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan, 5). Transformasi Sumber Daya Manusia Kesehatan dan 6). Transformasi Teknologi Kesehatan.
Interkasi COVID-19 dengan kebangkitan penyakit kronis global yang erkelanjutan dan faktor-faktor resiko terkait, termasuk obesitas, gula darah tinggi, dan polusi udara luar rungan, selama 30 tahun yang lalu telah menciptakan sebuah badai yang “sempurna”, yang mendorong tingkat kematian COVID-19.
Temuan-temuan terbaru dari studi Beban Penyakit Global yang di publikasian the lancet, memberikan wawasan baru mengenai seberapa baik penduduk dunia dipersiapkan dalam hal kesehatan pokok untuk pandemi COVID-19 dan menetapkan skala sebenarnya dari tantangan untuk melindungi (populasi dunia) dari ancama pandemi lebih lanjut. Beberapa dari faktor resiko penyakit tidak menular (PTM) yang disoroti seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular, terkait dengan meningkatnya risiko penyakit serius dan kematian karena COVID-19. Namun, penyakit tidak hanya berinteraksi secara biologis ia juga berinteraksi dengan faktor-faktor sosial/ diperlukan tindakan darurat untuk mengatasi sindemi penyakiy-penyakit kronis global, ketidak-adilan sosial, dan COVID-19 yang merujuk kepada interaksi dari beberapa epidemi yang menambah beban penyakit pada populasi yang telah menanggung beban, dan meningkatkan kerentanan mereka.
Kegagalan kesehatan publik untuk membendung meingkatnya faktor-faktor resiko yang bersifat kritis.
Selama dekade yang lalu, terdapat kenaikan yang cukup besar dan mengkhawatirkan (di atas 0.5% per tahun secara global) dalam paparan terhadap beberapa risiko yang dapat dicegah – obesitas, gula darah tinggi, penggunaan alkohol, dan penggunaan obat‐obat terlarang – yang berkontribusi terhadap bertambahnya beban PTM, dan menekankan sangat dibutuhkannya upaya kesehatan publik yang lebih kuat.
Dampak kumulatif terbesar atas kesehatan muncul dari kenaikan yang mencengangkan dalam risiko metabolis, yang telah meningkat 1.5% per tahun sejak 2010. Secara kolektif, risiko metabolis (yakni BMI yang tinggi, gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi) bertanggungjawab atas hampir 20% dari total kehilangan kesehatan di seluruh dunia di tahun 2019 ‐ 50% lebih tinggi daripada tahun 1990 (10%). Ia juga bertanggung jawab atas sejumlah besar kematian di dunia ‐ dengan tekanan darah tinggi berkontribusiterhadap 1 dalam 5 kematian (hampir 11 juta orang) di tahun 2019, gula darah tinggi (6.5 juta kematian), BMItinggi (5 juta) dan kolesterol tinggi (4.4 juta).
Di antara risiko‐risiko utama PTM, hanya merokok yang telah turun secara signifikan. Upaya keras untuk mengimplementasikan kebijakan pengendalian tembakau internasional telah membuat paparan terhadap merokok menurun sebesar hampir 10% di seluruh dunia sejak 2010, meskipun tembakau (yang dihirup, dihirup dari pihak lain, dan dikunyah) tetap menjadi penyebab utama kematian di banyak negara berpendapatan tinggi, termasuk Amerika serikat, Kanada, Inggris, Jepang, Belgia, dan Denmark di tahun 2019; dan mengklaim hampir 9 juta jiwa di seluruh dunia.
Dampak dari faktor‐faktor risiko juga sangat berbeda di berbagai wilayah. Di banyak wilayah di Amerika latin, Asia, dan Eropa, tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, BMI tinggi, dan penggunaan tembakau adalah kontributor utama terhadap kesehatan yang buruk. Di Oseania, gizi buruk dan polusi udara termasuk risiko‐risiko utama. Perbedaan‐perbedaan yang paling nyata adalah di sub‐Sahara Afrika, yang tidak seperti wilayah‐wilayah lainnya, didominasi oleh gizi buruk, air, sanitasi, dan cuci tangan yang tidak aman; polusi udara; dan seks yang tidak aman.
MAISUN FATIN FATIMAH
MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
ILMU ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA KENDARI