Opini : Ridwan Demmatadju
Nasionalinfo.Com, Kolaka – Tengah malam hingga dini hari hujan di Kota Kolaka, tentu suhunya dingin sebagaimana hujan adalah air dari langit tercurah ke bumi dan air selalu membawa kesejukan bagi alam semesta.
Semoga hujan malam ini membawa kesejukan bagi penduduk kota yang kita cintai ini. Meski sejak beberapa hari ini sejumlah kalangan masyarakat dan pengamat politik lokal sedang membahas isu – isu politik yang nampaknya akan menaikkan suhu politik daerah ini.
Kemarin di sebuah media cetak lokal, secara terang-benderang menurunkan liputan soal terbitnya pergantian Ketua DPRD Kolaka, dari Sainal Amrin ke tangan Syaifullah Halik.Terbit di halaman depan media tersebut, dan jadi bahan obrolan hampir di semua warung kopi. Mereka mencoba menafsir keputusan yang akan merubah komposisi pimpinan DPRD Kolaka hari ini.
Sebagai penulis saya menyimak sembari memastikan argumentasi yang dimunculkan itu tidak menyalahi aturan main dalam tatanan penyelenggaran pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagaimana di atur dalam hukum tata negara. Semua harus taat pada aturan hukum yang berlaku di negara ini.
Pada konteks ini, saya paham bahwa terkait dengan terbitnya SK tersebut telah melalui evaluasi dan pertimbangan yang matang dari pimpinan tertinggi di partai besutan Jenderal Prabowo ini.Jika hari ini, SK diterbitkan untuk Syaifullah Halik maka saya percaya ini juga sudah bersifat final untuk segera dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku.
Dengan merujuk pada SK tersebut, secara tegas telah membatalkan SK terdahulu yang digunakan Sainal Amrin untuk menduduki kursi pimpinan DPRD Kolaka. Namun demikian, dibalik terbitnya SK untuk Syaifullah Halik ini, menjadi arena pertarungan kehormatan bagi Sainal Amrin yang telah secara resmi dilantik menjadi orang nomor satu di DPRD Kolaka. Perlu dicatat bahwa kekuasaan itu tak ada yang diserahkan begitu saja, dalam teori kekuasaan itu harus direbut dengan berbagai cara apapun jalannya. Sebagai mana politik selalu jadi alat untuk berkuasa.
Pada frame ini, kian menarik diamati, peta-peta kekuatan yang akan berwujud menjadi bukti apakah aturan hukum akan jadi tegak atau dikalahkan oleh tekanan politik. Mari kita membaca dengan jernih skenario pertarungan dua politisi ini, siapa yang akan memenangkan atau kalah di medan konflik ini.
Sosok Sainal Amrin, adalah politisi senior yang disegani dan memiliki jam terbang yang tinggi di kancah politik Kabupaten Kolaka.Itu adalah fakta yang tidak boleh dinafikkan. Semua orang Kolaka mengetahui kompetensinya. Sainal Amrin yang berlatar belakang birokrat, ia pernah menjadi camat di Ladongi, hingga akhirnya memutuskan untuk berkarir sebagai politisi dengan meninggalkan statusnya sebagai birokrat di jajaran Pemda Kolaka.
Berbeda dengan Syaifullah Halik, saya mengenalnya sejak kali pertama terpilih jadi anggota DPRD Kolaka, mendiang ayahnya mantan Kepala Desa, Konaweha, di Kecamatan Samaturu, H.Halik.Kemunculannya di kancah politik Kolaka belum banyak terekam, meskipun ia berhasil duduk kembali dengan perolehan suara terbanyak pada Pemilu kemarin. Dengan modal suara terbanyak inilah yang menjadi harapan Syaifullah akan menjadi orang nomor satu di DPRD Kolaka, dikuatkan dengan aturan diinternal partai, bahwa siapa yang mendapat suara terbanyak maka secara otomatis dialah yang akan diusung menjadi unsur pimpinan.
Tetapi apa yang terjadi, Syaifullah harus gigit jari kerena dalam pengusulan hingga terbitnya SK dari pimpinan tertinggi justeru merekomendasikan nama Sainal Amrin.Disinilah awalnya benih konflik internal antara dua anggota DPRD Kolaka, walaupun Sainal Amrin telah dilantik dan resmi menduduki kursi Ketua DPRD Kolaka.
Seiring waktu berjalan, tak sampai satu tahun terbitlah SK yang kini jadi surat sakti bagi Syaifullah untuk mengganti kedudukan Sainal, hal ini membuktikan bahwa Syaifullah berjuang terus meski Sainal harus diakui telah jadi Ketua DPRD Kolaka. Sebagaimana dalam dunia politik semua kemungkinan bisa terjadi tanpa bisa diduga kendati semua dianggap berkekuatan hukum, inilah kenyataan pahit yang mau tidak mau suka tidak suka membuat Sainal dipastikan terusik kehormatannya sebagai politisi dengan kejadian ini.
Penulis teringat peristiwa yang nyaris sama konflik “Kelompok 13” saat anggota DPRD Kolaka terbelah dua versi dengan SK yang berbeda di Tahun 1999-2004.Konflik kelompok 13 ini harus berproses sampai ke Mahkamah Agung, selama 2 Tahun lebih, baru selesai dan kelompok 13 tergugat bisa dilantik jadi anggota DPRD Kolaka dengan masa kerja hanya 2 setengah tahun.Salah satu anggota DPRD Kolaka dari kelompok 13 yang menggugat adalah Bakri Mendong, dia selalu jadi nara sumber berita yang saya tulis di Harian Kendari Pos saat itu.
Selain itu, nama Muhammad Akring Djohar juga menjadi tokoh kunci dalam skenario perebutan kuasa politik di DPRD TK II bersama Rahmat saat itu Ketua PPD II, jadi penyelenggara Pemilu terdahulu, sekarang bernama KPU Kabupaten Kolaka.Perpecahan dan konfliknya saya ikuti secara saksama dalam tempo yang tidak singkat.
Begitulah nukilan narasi politik di Kolaka, pagi ini hujan masih turun mengguyur tanah Mekongga tercinta. Sebagai warga Kolaka, tentu berharap konflik ini tidak berlangsung lama, saya percaya semua akan indah pada waktunya, dan banyak jalannya. Semoga !
Penulis pernah bekerja sebagai jurnalis Harian Kendari Pos biro Kolaka, saat ini tinggal di Watuliandu dan menekuni seni lukis tembok.
Opini : Ridwan Demmatadju