Nasionalinfo.Com, Kendari – Saat ini Bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah kekurangan gizi pada bayi dan balita sehingga berdampak pada munculnya stunting dalam masyarakat, Indonesia menjadi salah satu negara yang masih tinggi angka stuntingnya untuk propinsi sulawesi tenggara sendiri masih berada diposisi 30,2% stunting, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Stunting merupakan kondisi dimana terjadi gangguan pada masa pertumbuhan dan perkembangan akibat dari kuranngaya gizi kronik dan infeksi berular. Stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kondisi soisal ekonomi, gizi ibu saat hamil, kurangnya asupan gizi pada bayi ataupun karena infeksi bakteri/virus pada bayi. Upaya penanganan gizi buruk pada balita dan anak telah banyak dilakukan di seluruh dunia termasuk Indonesia, mengingat tingginya kasus gizi buruk yang dilaporkan.
PENDAHULUAN
Stunting atau pendek adalah masalah yang terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia yang prevalensinya terus meningkat (UNICEF, 2013). Stunting mengakibatkan anak mengalami masalah kesehatan di masa yang akan datang, jika tidak segera diatasi maka akan terus berdampak pada semakin meningkatnya penyakit tidak menular pada usia dewasa (Trihono et al., 2015).
Stunting terjadi pada saat anak berusia dibawah lima tahun/balita akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.00 Hari Pertama Kelahiran (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan (Kemenkes, 2018). Stunting pada anak merupakan hasil ketidak cukupan zat gizi atau masalah gizi kronis, diet berkualitas rendah, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan (Sutarto et al., 2018). Selain masalah pada gizi, status nutrisi dan kesehatan ibu adalah faktor penentu yang penting dalam pencegahan stunting, karena kondisi kesehatan dan status nutrisi ibu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan awal bayi sejak dalam rahim (Hanindita, 2018).
Kader posyandu adalah warga masyarakat yang ditunjuk untuk bekerja secara sukarela dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan sederhana di posyandu. Kader posyandu dipilih oleh pengurus posyandu dari anggota masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan kegiatan posyandu , Kriteria kader posyandu ada tiga, yakni pertama, bahwa kader yang dipilih diutamakan berasal dari anggota masyarakat setempat sehingga kader lebih mengetahui karakteristik dan memahami kebiasaan masyarakat. Selain itu kader lebih mudah dalam memantau situasi dan kondisi bayi dan balita yang ada di wilayah kerja posyandu dengan melakukan kunjungan rumah bagi bayi dan balita yang tidak datang pada hari buka Posyandu maupun memantau status pertumbuhan bayi dan balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Kedua, kader juga harus bisa membaca dan menulis huruf latin karena pelaksanaan tugas di Posyandu berhubungan juga dengan pencatatan dan pengisian KMS yang menuntut kader agar bisa membaca dan menulis. Kemampuan dalam membaca dan menulis ini merupakan hasil dari pendidikan dasar kader tersebut. Ketiga, kader sebaiknya dapat menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan di posyandu serta bersedia bekerja secara sukarela, memiliki kemampuan dan waktu luang agar kegiatan dapat terlaksana dengan baik. Jika kader dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam arti sebagian besar ibu dari bayi dan balita mau datang ke posyandu, maka keberhasilan program posyandu akan terwujud.
Dampak stunting dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme tubuh, dampak jangka yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung, dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
(Kemenkes RI, 2017). Selain itu stunting pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan gangguan Intelligence Quotient (IQ), perkembangan psikomotor, kemampuan motorik, dan integrasi neurosensory (Milman et al., 2005).
Upaya penanganan gizi buruk pada balita dan anak telah banyak dilakukan di seluruh dunia termasuk Indonesia, mengingat tingginya kasus gizi buruk yang dilaporkan. Berdasarakan data RISKESDAS tahun 2007 sampai dengan 2013 terjadi peningkatan data gizi buruk (0,31%) dan gizi kurang (0,96%) di Indonesia Pada tahun 2018 jumlah prevalensi balita yang terkena stunting yaitu sekitar 21,9% [6]. Indonesia termasuk Negara ketiga dengan prevalensi tertinggi stunting di Asia Tenggara. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 27,5% tahun 2017 meningkat sebanyak 29,6% dan pada tahun 2018 meningkat lagi menjadi 30,8%. Provinsi Sulawesi Tenggara, kejadian stunting pada tahun 2018 berdasarkan status gizi yaitu sebesar 2,67% dengan kategori balita sangat pendek dan kategori balita pendek sebesar 5,25 %. Angka tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2019 berdasarkan status gizi indeks TB/U yaitu kategori balita sangat pendek sebesar 3,25% dan kategori balita pendek sebesar 13,67 %[7]. Data hasil survey status gizi Indonesia (SSGI) (2023) pada tahun 2021 hingga 2022 terjadi penurunan angka stunting sebesar 2,5%. Namun data tersebut masih jauh dari target pemerintah yaitu 14% pada tahun 2023.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik menggunakan desain cross sectional yang telah dilaksanakan pada tanggal 25 september 2024 di Desa Tampabulu Kecematan Poleang utara Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara yang telah melibatkan 10 ibu yang memiliki balita dengan kriteria inklusi Ibu balita yang komunikatif, Ibu dengan balita berumur 0-60 bulan.
Variabel bebas (independen variable) adalah peran kader posyandu sedangkan variabel terikat (dependen variable) adalah pertumbuhan Balita. Pada saat pengumpulan data di lapangan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi oleh petugas setempat. Pertumbuhan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu bertambahnya ukuran fisik tubuh yang diukur secara antropometri selama tiga bulan berturut-turut yaitu dengan mengukur berat badan dan panjang badan kemudian dinilai dengan menggunakan indikator BB/PB berdasarkan kurva WHO Child Growth Standard yang dibedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kriteria objektif ada 2 yakni normal: bila mengikuti garis kurva pertumbuhan, tidak normal: bila tidak mengikuti garis kurva pertumbuhan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun, data yang telah diolah dan dianalisis dapat disajikan pada tabel berikut :
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa hasil pengukuran 10 responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang , laki-laki sebanyak 6 orang, dengan umur 0-4 tahun tinggi badan lahir terendah yaitu 45 cm sedangkan responden dengan angka tertinggi tinggi badan lahir yaitu 48 cm, berat badan lahir terendah 2,8 kg tertinggi 3,1 kg, setelah dilakukan pengukuran kembali pada tanggal 25 september 2024 didapatkan hasil dengan berat badan terendah yaitu 5,4 kg dengan Z-score BB/U -2.96 kategori kurang sedangkan yang tertinggi yaitu 17,2 kg dengan Z-score BB/U 0,14 kategori normal, untuk hasil pengukuran tinggi badan didapatkan haasil terendah yaitu 57,1 cm dengan Z-score -4.24 kategori sangat pendek sedangkan yang tertinggi yaitu 97 cm dengan Z-score yaitu -3.05 kategori pendek , dari 10 responden 1 anak termasuk dalam kategori gizi buruk dengan Z-score BB/TB -3,79 mengalami naik berat badan, gizi kurang 1 orang dengan Z-score BB/TB yaitu -2,51 naik berat badan, gizi lebih 2 orang dengan Z-score BB/TB 2.48 dan 2.26 tidak naik berat bdan. 6 responden dengan kategori normal 3 diantaranya tidak naik berat badan sedangkan 3 responden mengalami kenaikan berat badan.
Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu, stunting dapat berpengaruh pada anak balita pada jangka panjang yaitu mengganggu kesehatan, pendidikan serta produktivitasnya di kemudian hari (Waliulu et al., 2018).
Stunting digambarkan sebagai seorang balita yang memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar tinggi badan balita seumurnya. Penyebab stunting secara langsung meliputi asupan gizi yang kurang dan status kesehatan ibu dan anak. Sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketahanan pangan (ketersediaan, keterjangkauan, dan akses pangan bergizi), lingkungan sosial (norma, makanan bayi dan anak, higiene, pendidikan, tempat kerja), lingkungan kesehatan (akses pelayanan preventif dan kuratif), lingkungan pemukiman (air, sanitasi, kondisi bangunan).
Faktor yang mempengaruhi
Menurut Murray & McKinny (2007) bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas nutrisi salah satunya adalah dukungan sosial, dimana dukungan sosial dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak stunting. Dalam penelitian Cahyani, Yunitasari, & Indarwati (2019) menyebutkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan dalam pemberian ASI dan juga pemberian Pola makan kepada anak, semakin baik dukungan sosial maka motivasi ibu dalam merawat anak seperti pemberian ASI dan pola makan semakin baik (Cahyani et al., 2019).
Dukungan sosial
Upaya mengatasi masalah stunting dengan dukungan sosial. Dukungan sosial secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi, semakin baik dukungan yang diberikan maka semakin baik pula pemberian (Patrice, 1997). Dukungan sosial merupakan bantuan antara keluarga dan masyarakat dalam menyediakan waktu, perhatian baik dalam bentuk fisik mental, dan sosial (Cahyani et al., 2019).
Dukungan sosial adalah dukungan yang dinyatakan dalam bentuk perhatian, penghargaan, bantuan yang diterima oleh individu dari individu lain atau kelompok sehingga dapat merasa dicintai, dihargai, dan diperhatikan. Terdapat empat aspek yang penting untuk menilai dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan jaringan social.
Dukungan sosial adalah suatu bentuk dukungan yang berbentuk bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang diterima seseorang dari orang lain atau kelompok berupa rasa aman, peduli, penghargaan. Sehingga individu yang mendapatkannya merasa diperhatikan, dicintai, dan dirasakan keberadaannya (Sarafino, 2016).
Pencegahan stunting
Stunting adalah sebuah kondisi dimana t inggi badan lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain seusianya, dimana dapat diketahui apabila balita saat diukur panjang atau tinggi badannya dan dibandingkan dengan standar baku WHO didapatkan hasil nilai z- score ≤ 2 standar deviasi.
pencegahan stunting menunjukkan bahwa mayoritas Ibu balita sudah baik dalam pencegahan stunting. Hal ini mengartikan bahwa Ibu balita mempunyai dukungan sosial dan keluarga dalam melakukan pencegahan stunting. Dukungan keluarga memiliki peranan penting, hal ini diberikan pada ibu selama hamil karena ibu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis, seperti pemenuhan kebutuhan gizi sejak hamil. Dukungan sosial juga didapatkan dari peran kader dan tenaga kesehatan. Peran tenaga kesehatan adalah sebagai motivator dan fasilitator. Peran sebagai fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan kemudahan dalam menyediakan fasilitas bagi orang lain yang membutuhkan. Peran inilah yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap seseorang (Wulandari & Kusumastuti, 2020).
Kader posyandu sebagai tenaga masyarakat yang paling dekat dengan masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena kader merupakan masyarakat setempat sehingga alih pengetahuan dan alih keterampilan dari kader kepada masyarakat sekitar menjadi lebih mudah. Memberikan batasan tentang kader kesehatan: “kader kesehatan dinamakan juga promotor kesehatan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dari masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat.
Kader posyandu merupakan salah satu bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam bidang kesehatan. Peran aktif kader posyandu secara tidak langsung dapat menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) juga dapat meningkatkan cakupan pertolongan persalinan pada tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan kader posyandu berfungsi sebagai saluran penyampaian pesan kesehatan yang cukup optimal dalam menunjang kegiatan program pelayanan kesehatan ibu dan anak melalui penyuluhan-penyuluhan, penggerakan masyarakat dan pengawasan deteksi dini terhadap risiko persalinan, Disamping itu kader posyandu juga berfungsi dalam merubah perilaku ibu hamil untuk mau bersalin pada tenaga kesehatan dan juga berperan dalam memotivasi ibu hamil, nifas dan menyusui dalam melaksanakan pemeliharaan kesehatan. Peran serta atau keikutsertaan kader Pos Pelayanan Terpadu melalui berbagai organisasi dalam upaya mewujudkan dan meningkatkan pembangunan kesehatan masyarakat desa harus dapat terorganisir dan terencana dengan tepat dan jelas.
KESIMPULAN
Kader posyandu merupakan salah satu bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam bidang kesehatan. Peran aktif kader posyandu secara tidak langsung dapat menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) juga dapat meningkatkan cakupan pertolongan persalinan pada tenaga kesehatan. Dukungan sosial adalah dukungan yang dinyatakan dalam bentuk perhatian, penghargaan, bantuan yang diterima oleh individu dari individu lain atau kelompok sehingga dapat merasa dicintai, dihargai, dan diperhatikan
SARAN
Dukungan sosial memiliki hubungan signifikan terhadap pencegahan stunting. Pencegahan stunting pada Ibu balita akan semakin baik apabila Ibu balita semakin memiliki dukungan sosial yang tinggi. Ada hubungan antara peran kader posyandu dengan pertumbuhan Balita usia 0- 60 Bulan di desa Tampabulu.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, V. U., Yunitasari, E., & Indarwati, R. (2019). Dukungan Sosial sebagai Faktor Utama Pemberian Intervensi Gizi Spesifik pada Anak Usia 6-24 Bulan dengan Kejadian Stunting berbasis Transcultural Nursing. Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, 5(1).
Depkes, R. (2018). Profil Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hanindita, dr M. (2018). Mommyclopedia: Tanya-jawab tentang nutrisi di 1000 hari pertama kehidupan anak. Gramedia Pustaka Utama.
Kemenkes, R. (2018). Situasi balita pendek (Stunting) di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI.
Sutarto, S. T., Mayasari, D., & Indriyani, R. (2018). Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya. Agromedicine Unila, 5(1), 540–545.
WHO, “Consolidiated ARV Guidelines,” 2013.
Wulandari HW, Kusumastuti I. Pengaruh Peran Bidan, Peran Kader, Dukungan Keluarga dan Motivasi Ibu terhadap Perilaku Ibu dalam Pencegahan Stunting pada Balitanya. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 2020;19(02):73–80.
ARTIKEL STUNTING By
NURCHAYA PURNAMA
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Ilmu Kesehatan Masyarakat,
“Universitas Mandala Waluya Kendari