Oleh : Suparman F Sinnik , SH
Di film “Fast and Furious7” diceritakan bahwa Ramsey adalah hacker yang mampu mentracking seseorang secara realtime.
Data dari teknologi God’s Eye didapat dari GPS, Camera pengawas diseluruh dunia serta dari camera Smartphone yang dipakai milyaran manusia dibumi. teknologi ini digunakan hanya oleh agensi intelijen dan penegak hukum.
Pencipta Persisten Surveillance Systems, Ross McNutt, menerangkan bahwa sistemnya hampir mirip dengan Google Earth, hanya saja memiliki kemampuan TiVo atau perekam video digital.
Apa maksud dengan judul tulisan ini , Apakah Bawaslu akan melibatkan Publik menggunakan tekhnologi Gods eye ini?
Tentu tidak, jangankan Bawaslu aparat penegak Hukum sekelas KPK, Kepolisian dan Kejaksaan tidak memiliki tekhnologi ini baru sebatas system penyadapan sedangkan Bawaslu baru sebatas aplikasi yakni Gowaslu dan lainnya.
Karena menggunakan tekhnologi ini harus berbicara dari sisi sourcecode, realtime, jaringan, implementasi aplikasi, sumber daya computasi, regulasi baru dan akses pihak ketiga , sudah pasti berbiaya tinggi dan perlu di uji pada public.
Inti dari tulisan ini adalah bagaimana upaya bawaslu meminimalisir tiap – tiap pelanggaran pemilu dengan bantuan partisipasi public atau menjadikan masyarakat sebagai ”god’s eye” dalam rangka pengawasan potensi kecurangan dan malpraktek tahapan pilkada yang akan berlangsung sebentar lagi sebab Gong pilkada serentak 2020 sudah di tabuh oleh KPU RI pada acara Konsolidasi Nasional KPU se-Indonesia september lalu
Pilkada serentak di pastikan akan di laksanakan 23 September 2020 yang akan datang.
Para calon peserta pilkada pun sudah harus bersiap menyusun strategi politik di daerahnya masing-masing , ada 270 daerah seluruh Indonesia akan melakukan pilkada pada 23 september 2020 dan tujuh daerah di antaranya ada di Sulawesi Tenggara.
Sejumlah tahapan siap di geber oleh KPU Kabupaten / Kota terlepas dari persoalan ada atau tidaknya revisi atau judicial review UU No 10 tahun 2016 tentang pemilukada .
Sejumlah potensi kecurangan yang di rangkum pada pilkada sebelumnya di prediksi akan terulang kembali di pilkada yang akan datang seperti Penggelembungan daftar pemilih tetap (DPT) melalui maraknya identitas ganda, keterlibatan ASN dan Kepala Desa berpolitik praktis mendukung Petahana, praktek politik uang dan tidak netralnya pihak penyelanggara ad hoc PPK maupun Panwascam di tingkat kecamatan sampai desa yang bermain dua kaki di satu sebagai penyelenggara tapi di sisi lain sebagai timses.
Sedangkan Bawaslu sebagai lembaga badan formal yang bertugas untuk mengawasi seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu, masih mengalami berbagai kendala pengawasan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khairunisa Nur Agustiyati, bahwa dari keseluruhan tahapan pilkada serentak 2015 ditemukan 140 pelanggaran yang terbagi ke dalam lima kategori diantaranya kekerasan pelaksanaan pilkada, logistik pilkada, pelanggaran pidana dalam pelaksanaan pilkada, pelanggaran administrasi dan sengketa pencalonan.
Pelanggaran pidana merupakan pelanggaran terbanyak dengan ditemukannya 54 temuan.
Urutan kedua adalah logistik dengan 36 temuan, salah satu bentuk pelanggarannya adalah tidak disebarkannya undangan pemilihan formulir C6 untuk pemilih.
Urutan ketiga adalah pelanggaran administrasi dengan 25 temuan, sedangkan pelanggaran kekerasan di urutan keempat dengan 13 temuan, dan sengketa pencalonan berada di urutan terakhir dengan 12 temuan.
Seiring dengan itu Sekjen Komite Independent Pemantau Pemilu(KIPP) Indonesia Kaka Suminta melalui Whatsapp di Grup Kippers mengatakan “ Fokus utama pengawasan kecurangan dalam Pilkada adalah “Money Politic” karena politik uang masih menduduki peringkat pertama dalam kecurangan yang di lakukan calon, seorang calon enggan berkompetisi kalo tidak memiliki amunisi untuk membeli suara.”
Memang Politik uang ini ibarat hembusan angin, hawanya terasa tapi tak nampak sementara sebagian besar masyarakat wajib pilih kita sudah terbiasa menerima uang sogokan dari politikus.
Eksistensi Bawaslu sebagai lembaga resmi pengawal demokrasi dalam Pilkada sebagaimana yang di amanatkan undang-undang di tuntut memastikan parameter pilkada berjalan demokratis baik dalam proses maupun hasil Pemilu serta azas-azas pemilu juga harus berjalan dengan baik karena Parameter pemilu yang demokratis ditandai dengan adanya integritas proses penyelenggaraan pemilu dan integritas hasil pemilu.
Dengan hanya bermodal personil tiga orang di tingkat kabupaten, tiga orang Panwas kecamatan dan satu orang Pengawas Lapangan tingkat Desa , rasanya sulit bagi masyarakat berharap banyak Bawaslu bisa mengawasi dengan cakupan letak geografis wilayah yang begitu luas dan beragam terutama wilayah Kabupaten dengan sejumlah pengawasan tahapan pilkada yang menyertainya.
Apalagi bertambahnya beban tugas pasca Bawaslu bertransformasi selain sebagai lembaga pengawas juga sebagai lembaga pengadil dalam penanganan pelanggaran dan perselisihan sengketa administrasi Pemilihan.
Menurut Prof Bambang Soerbakti “ Transformasi Bawaslu dan Pengawasan Partisipasi dalam pemilu, salah satu prinsip yang mendasari transformasi kelembagaan bawaslu adalah didasarkan pada upaya untuk menguatkan eksistensi masyarakat sebagai principal dari demokrasi.
Hal ini bertolak dari semakin lemahnya pengawasan oleh masyarakat ketika ada upaya untuk menguatkan kelembagaan Bawaslu.
Karena itu upaya transformasi Bawaslu tersebut juga harus dimaknai sebagai upaya untuk menguatkan peran pengawasan pemilu oleh masyarakat. Dengan kata lain mengembalikan fungsi pengawasan kepada pemiliknya yakni masyarakat.”(2015:45).
Hanya memang ada Kelemahan yang dihadapi Bawaslu dalam upaya mewujudkan partisipasi publik sebagai relasi pengawasan Pilkada Pertama kurangnya kemampuan dan kapasitas internal Bawaslu terutama tingkat Kabupaten/Kota dalam menanggapi dan mengembangkan model pengawasan partisipatif masyarakat utamanya, berkenaan dengan penyiapan pedoman dan pengaturan yang akan menjadi acuan pelaksanaan pengawasan partisipatif;
Kedua tidak adanya anggaran Bawaslu yang tersedia untuk mendorong pengawasan partisipatif dalam memfasilitasi baik menyiapkan sumber daya manusia maupun biaya operasional pengawasan karena meskipun masyarakat sudah berminat berpatisipasi dalam pengawasi pilkada namun tidak di bekali tekhnik pengawasan dan biaya akomodasi maka sangat sulit untuk upaya mewujudkan pengawasan partisipastif berbasis masyrakat sipil.
Sementara Pemilu 2019 kemarin KPU sudah duluan memulai melibatkan partisipasi masyarakat dengan Relawan Demokrasinya padahal Bawaslu juga memiliki beban dan tanggung jawab yang sama.
Sebenarnya ada beberapa bentuk yang bisa di tawarkan dalam melibatkan partisipasi public dalam melakukan pengawasan Pilkada yakni pertama Partisipasi Formal, dijalankan melalui organisasi-organisasi pemantau pilkada atau pemilu, Komunitas jurnalis yang concern terhadap isu-isu pemilu atau memantau jalannya pemilu.
Kedua Partisipasi Extra Formal melalui komunitas – komunitas milenial, organisasi -organisasi karang taruna, Tokoh agama pemuda dan mahasiswa, lembaga-lembaga adat dan budaya, setiap orang yang meiliki kegandurangan personal atau pengamat yang membahas politik dll.
Adapun kegiatan pengawasan partisipatif yang bisa dilakukan masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pilkada meliputi melakukan pendidikan pemilih, melakukan sosialisasi tahapan Pemilu, melakukan pemantauan atas setiap tahapan Pemilu dan menyampaikan penilaian atas Pemilu berdasarkan hasil pengawasan atau pemantauan, Mengajak masyarakat menyalurkan hak pilihnya dan memastikan wajib pilih sudah sesuai dengan DPT, Mengawasi dan memantau Netralitas ASN – Kepala Desa beserta perangkatnya, Mengawasi langsung jalannya penyelenggaraan Pemilihan pada hari H Pilkada sampai perhitungan hasil, Mengawasi dan Melaporkan Politik Uang para calon bupati/Walikota sebagai peserta Pilkada, melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu baik pelanggaran Kode Etik Penyelenggara pemilu maupun pelanggaran ketentuan administrasi Pemilu dan pelanggaran ketentuan Pidana Pemilu.
Terkhusus Penggunaan politik uang yang sudah mendarah daging di berbagai pentas pemilu menjadi momok yang tak usai ibarat bau kentut seseorang baunya terasa tapi tak mau mengakui sebagai pelaku.
Dari penulusuran kami pasca pemilu , pelaku money politik di Desa/kampong selain orang itu-itu saja sekarang para ibu-ibu rumah tangga juga di manfaatkan oleh peserta pemilu/Pilkada sebagai kurir politik Uang.
Pentingnya Keterlibatan masyarakat sipil untuk di jadikan sebagai ‘God’s eye’ sudah sangat diperlukan.
Bawaslu harus bisa membuat standar baku dengan perangkat pendukung seperti aplikasi penunjang di setiap kabupaten/kota.
Dengan membuat merekrut secara profesional baik secara lembaga formil, non formil maupun perorangan, personal rekruitmen ini harus berintegritas tidak pernah berafiliasi dengan kepentingan politik apapun, memiliki jiwa pemberani untuk melaporkan dan menjadi saksi kecurangan/pelanggaran, di beri upah maksimal untuk fokus bekerja selama tahapan pilkada berlangsung, Mereka hanya bekerja di desa/kelurahan, kampong, RT dan dusun-dusun, personil maksimal dua orang setiap dusun atau RT memantau, memata-matai, mengawasi setiap orang yang di curigai akan melakukan money politic atau pelanggaran pemilu lainnya, mereka berkoordinasi dan di awasi langsung oleh Pengawas Lapangan di Desa/Kelurahan atau panwas kecamatan setempat.
Pawascam dan Pengawas lapangan di desa di harap bisa bekerja sama dengan pihak Kapolsek maupun Koramil terutama pada Babinkantibmas dan Babinsa di desa-desa untuk menjamin keamanan Personil ini dalam bekerja.
Personil ini juga bisa di jadikan serbagai Pengawas di dalam dan di luar TPS.
Karena pengalaman pemilu serentak 2019 yang lalu rekruitmen Pengawas TPS ini yang juga membantu petugas pengawas lapangan di desa/kelurahan tetapi kurang efektif dan maksimal mereka bekerja hanya sebatas pengawas pada hari H pemilu dan membantu secara tehknis kelancaran penyelenggaraan pemilu di tingkat TPS.
Alternatif lainnya dalam pelibatan publik dalam mengawasi jalannya pilkada adalah Bawaslu menyiapkan Bonus atau Hadiah besar bagi masyrakat yang menemukan, siap melaporkan dan menjadi saksi sesuai jenis pelanggaran atau malpraktek Pilkada, terutama laporan pelanggaran politik uang wajib di beri bonus besar.
Ada memang salah satu Bawaslu Kabupaten di Sulawesi tenggara yang sudah menerapkan bonus ini tetapi masyarakat menganggap hadiah tersebut terlalu kecil sehingga masyarakat kurang respek.
Melihat rencana pelibatan masyarakat di atas mungkin Negara akan berpikir perlu mengocek lebih dalam uang Negara melalui APBN dalam pelaksanaannya dan akan mempertanyakan sumber anggaran dari mana untuk mempersiapkan ini?
Bawsaslu RI mungkin bisa di beri kewenangan dan kebebasan untuk memfasilitasi Pelibatan masyarakat atau public baik itu lembaga formil seperti pemantau pemilu maupun lembaga non formil dengan membangun kerja sama dan berkolaborasi dengan dunia usaha mealui program corporate social responsibility (CSR) yang selain mendukung program pemberdayaan juga perlu konsen mendukung pembangunan iklim demokrasi yang sehat dalam mewujudkan Good Governence sebagai salah satu syarat membangun iklim usaha yang adil dan bijaksana atau lembaga founding baik luar maupun dalam negeri untuk berkolaborasi membangun MoU dalam bentuk dana hibah, entah itu dalam bentuk pendidikan / pelatihan partisipatif, penyediaan atribut dan penunjang pengawasan partisipatif maupun logistik dan akomodasi.
Terlepas dari adanya kelemahan dan kelebihan keterlibatan masyarakat sipil dalam skema dan rencana pengawasan partisipatif di atas tidak saja akan memperkuat kapasitas pengawasan Pemilu, tetapi juga mendorong perluasan wilayah pengawasan.
Bahkan akan memperkuat posisi Bawaslu dan pengawas Pemilu sebagai lembaga pengawasan yang berkembang kuat, karena ada representasi dari lembaga negara, dunia usaha dan masyarakat sipil.
Sekaligus akan menjadi media komunikasi pendidikan politik bagi masyarakat tentang partisipasi dalam Pemilu, terutama berkenaan dengan peran strategis pengawasan dalam mendorong terwujudnya Pemilu yang luber , jurdil, bermartabat dan berintegritas. ( Penulis adalah Ketua KIPP Kolaka Utara)